Senin, 19 Desember 2011

Don't Take Her

Title : Don't Take Her

Author : Yuka

Chapter : Oneshot

Pairing : MizukixYuka

Genre : Angst

Rating : PG 13

“Nee, Yuka-chan, aku punya mimpi setelah kita menikah nanti,” kata Mizuki yang berbaring di pangkuan Yuka.

“Apa itu? Aku boleh tahu?” tanya Yuka.

“Hmm… Aku ingin kita punya anak perempuan. Dan kita namai dia Miju. Bagaimana?” kata Mizuki disambut senyuman lembut dari Yuka.

+++

Yuka membuka kembali album pernikahannya yang diambil setahun yang lalu. Satu per satu dia lihat dengan seksama. Tak jarang dia tersenyum melihat beberapa foto yang terlihat lucu.

“Hey, apa yang kau lihat, sayang?” tanya Mizuki yang tiba-tiba menghampirinya dan memeluknya dengan erat.

Yuka menoleh ke arah Mizuki dan tersenyum melihat suaminya itu.

“Aku sedang melihat foto-foto pernikahan kita. Kau lihat ini? Sora terlihat sangat cocok menjadi seorang ayah. Aka-chan sangat lucu sekali. Iya kan?” Yuka memperlihatkan foto Sora saat menggendong anaknya.

“Aku ingin juga menjadi ayah. Aku ingin punya anak perempuan yang lucu seperti Aka-chan dan secantik ibunya,” Mizuki mencium pipi Yuka yang memerah.

“Aku juga. Ah! Bukannya kau harus segera berangkat ke Tokyo untuk final tour Sadie? Cepat berangkat! Nanti yang lain menunggumu,” Yuka segera menyuruh suaminya bersiap-siap.

“Iya… Aku tahu. Semua sudah aku siapkan. Tinggal menunggu Mao menjemputku, sayang. Jangan khawatir! Aku masih ingin di sini bersamamu,” kata Mizuki sambil memeluk Yuka kembali.

“TIN… TIN…,” terdengar suara klakson mobil dari depan rumah mereka.

“Itu pasti Mao. Ayo segera berangkat!” seru Yuka.

“Tunggu! Aku masih ingin bersamamu sebelum aku pergi ke Tokyo,” Mizuki mencium bibir istrinya yang sangat dia cintai itu sebentar.

Setelah itu, Mizuki mengambil beberapa tasnya dari dalam kamar dan membuka pintu rumahnya untuk menemui Mao dan menaruh tasnya ke dalam bagasi. Yuka menggendong Mikkii dan segera menyusul suaminya ke depan.

“Yuka-chan, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik selama aku tidak ada. Kalau ada sesuatu, telepon aku ya! Aku akan meneleponmu kalau aku sudah sampai di Tokyo. I love you,” kata Mizuki sebelum dia masuk ke mobil Mao.

“Baiklah. Kau juga jaga dirimu baik-baik di sana. Aku menunggumu di sini,” kata Yuka lalu Mizuki mencium kening Yuka.

Mizuki dan Mao melambaikan tangannya ke arah Yuka dan setelah itu, mobil Mao melaju menjauhi rumah Yuka.

Saat Yuka masuk dan menutup kembali pintu rumahnya, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan perut bagian bawahnya.

Perutnya tiba-tiba terasa sangat sakit seperti dicengkeram sesuatu yang sangat erat. Dia melepaskan Mikkii dari gendongannya dan memegangi perutnya yang sakit tak tertahankan itu. Yuka berjalan menuju sofa dengan tertatih-tatih sambil menahan sakitnya itu.

Mikkii yang melihat Yuka yang sedang kesakitan itu hanya menggonggong sekeras-kerasnya.

“Mikkii! Diamlah! Jangan menggonggong terlalu keras!” bentak Yuka pada Mikkii yang dengan segera merundukkan badannya dan menghentikan gonggongannya.

Yuka meneteskan air matanya sambil terus menerus menahan sakitnya. Karena Yuka sudah tidak tahan dengan sakitnya itu, Yuka memutuskan mengambil obat penahan rasa sakit di kotak obat. Dengan pelan-pelan dia mengambil air dan meminum obat itu.

Setelah meminum obat itu, Yuka menuju ke kamarnya dan berbaring di tempat tidur. Yuka teringat dengan pesan Mizuki untuk meneleponnya jika terjadi apa-apa.

Dengan segera, Yuka meraih ponselnya dan mencari nomor Mizuki di kontaknya. Tapi dengan cepat, Yuka menutup ponselnya.

“Tidak. Aku tidak boleh memberitahu Micchan. Dia baru saja berangkat. Kalau aku mengatakan hal ini, pasti dia akan segera kembali dan membatalkan perjalanannya,” kata Yuka menaruh ponselnya dengan masih menahan sakit.

Lama kelamaan, Yuka merasakan obat yang dia minum mulai bekerja. Sakit yang dia rasakan sedikit demi sedikit menghilang.

+++

Mikkii melompat ke atas tempat tidur dan menggonggong. Gonggongannya mampu membangunkan Mizuki dan Yuka yang sedang tertidur di pagi hari itu.

Dengan sedikit membuka mata, Mizuki dan Yuka terbangun dan meraih Mikkii. Mereka berdua memeluk Mikkii erat-erat.

Namun tiba-tiba Yuka merasakan perutnya mual. Dengan segera, dia menuju ke kamar mandi. Mizuki yang terlihat kebingungan, mengikuti Yuka dan melihat keadaan istrinya.

“Yuka-chan, kau kenapa? Apa terjadi sesuatu padamu?” Mizuki menghampiri Yuka.

“Aku… Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa mual. Mungkin aku hanya masuk angin saja,” kata Yuka menenangkan suaminya.

“Eh? Kau mual? Jangan-jangan kau bukan masuk angin. Jangan-jangan kau hamil?” Mizuki memperlihatkan mimic wajah yang gembira pagi itu.

“Apa? Ha… Hamil?” Yuka terkejut.

“Un. Mungkin kan kau hamil. Wanita mual di pagi hari itu kan tanda-tanda wanita itu sedang hamil, sayang,” jelas Mizuki. “Aku akan segera pergi untuk membeli testpack untuk Yuka.”

Yuka hanya tercengang melihat suaminya yang sangat tidak sabar untuk mendengar kabar gembira.

Tak lama kemudian, Mizuki mendapat barang yang dia kehendaki dan memberikannya kepada Yuka.

“Ayo, cobalah. Aku harap aku bisa mendengar kabar bagus darimu, sayang,” kata Mizuki tak sabar.

“Se… Sekarang?” Yuka menerima testpack yang dibeli oleh Mizuki.

“Un. Cobalah sekarang! Ayo!” kata Mizuki. Yuka segera bangkit dan kembali ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Yuka keluar dari kamar mandi sambil memegangi testpacknya. Dia melihat Mizuki yang sedang mondar mandir di depan kamar mandi.

“Micchan,” Yuka memanggil Mizuki dan Mizuki berhenti mondar mandir dan segera menghampiri Yuka.

“Bagaimana, sayang? Apa hasilnya positif?” tanya Mizuki.

“Etoo…,” Yuka menyerahkan hasil testpack itu pada Mizuki.

Mizuki segera melihat testpack itu. Dan saat dia melihat ada dua garis merah di testpack itu, dia segera memeluk Yuka dengan erat dan menciumi Yuka.

“YUKA-CHAN, KAU BENAR-BENAR HAMIL!! KITA AKAN SEGERA PUNYA ANAK! ARIGATOU NE!” Mizuki sangat gembira dan dia kembali memeluk Yuka dengan bahagia.

Yuka tersenyum bahagia melihat suaminya terlihat bahagia sekali. Namun di saat itu pula, Yuka merasakan perutnya kembali bergejolak. Dengan segera, Yuka memegangi perutnya dan menahan sakitnya.

Saat Mizuki melihat Yuka memegangi perutnya, dia melepaskan pelukan dari Yuka.

“Kau kenapa, sayang? Kau baik-baik saja?” Mizuki mulai panic.

“Aku tidak apa-apa. Mungkin ini efek aku mual tadi. Kau tidak perlu khawatir,” kata Yuka.

“Ada apa dengan perutku ini? Kenapa sakit ini kembali datang setelah beberapa lama?” Yuka bertanya-tanya dalam hatinya.

“Kalau begitu, kau berbaringlah. Aku tidak mau istriku kenapa-kenapa. Dan sekarang, aku akan terus menjagamu sampai anak kita lahir nanti,” kata Mizuki.

“Berarti jika nanti anak ini lahir, kau tidak akan menjagaku? Begitu?” kata Yuka.

“Tenang, sayang! Aku akan selalu menjagamu selamanya,” jawab Mizuki.

Yuka tertawa mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suaminya itu.

“Aku percaya kau akan menjagaku sampai selamanya. Dan aku juga berjanji akan memberikanmu kebahagiaan selamanya,” kata Yuka.

“Asalkan kau ada di sisiku selamanya, aku akan sangat bahagia,” kata Mizuki.

Mizuki segera mencium bibir istrinya itu. Dan saat suaminya mencium bibirnya, dia tidak merasakan sakit pada perutnya lagi.

+++

Kehamilan Yuka sudah memasuki usia 7 bulan. Dan kehamilannya tidak ada masalah sebelumnya.

Dengan penuh kasih sayang, Mizuki menjaga Yuka sebaik-baiknya. Mereka sangat bahagia dengan menjelang kehadiran anak mereka yang tinggal beberapa bulan lagi.

“Yuka-chan, aku pergi ke studio sebentar ya! Jangan pergi ke mana-mana saat aku tidak ada di rumah. Dan jangan lupa meneleponku kalau terjadi apa-apa. I love you, honey!” Mizuki mencium kening istrinya dan segera pergi ke studio untuk rehearsal.

“Hati-hati, sayang! Ganbatte ne!” kata Yuka.

Selama kurang lebih 3 jam, Mizuki berada di dalam studio bersama personel Sadie yang lain. Dan saat istirahat, Mizuki mencoba untuk menghubungi istrinya.

Mizuki mengeluarkan ponsel dari kantong celananya dan menelepon istrinya. Beberapa saat dia menunggu istrinya mengangkat telepon darinya. Namun tak ada tanda-tanda Yuka menjawabnya. Muncul sebuah kekhawatiran di dalam diri Mizuki.

Dia mencoba untuk menghubungi Yuka kembali. Tapi sama saja. Tak ada tanda-tanda teleponnya dijawab oleh Yuka. Karena kekhawatirannya sangat besar, Mizuki segera menutup teleponnya dan segera meraih kunci mobilnya.

“Mao-kun, maaf aku harus pulang sekarang juga. Sepertinya ada sesuatu terjadi dengan Yuka-chan,” Mizuki meminta ijin pada sang leader.

“Eh? Ada apa dengan Yuka-san? Dia baik-baik saja?” Mao terkejut.

“Aku tidak tahu. Tapi aku menelepon dia berkali-kali tapi dia tidak menjawab,” jelas Mizuki.

“Baiklah. Pergilah! Kalau ada apa-apa, kabari aku,” kata Mao memberikan ijin kepada Mizuki.

Mizuki segera bergegas pulang dengan hati tidak tenang. Mizuki megemudikan mobilnya dengan sedikit mengebut karena dia ingin segera menemui Yuka dan memastikan istrinya baik-baik saja.

Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya Mizuki sampai di rumahnya. Dia bergegas membuka pintu rumahnya dan mencari Yuka.

“Yuka-chan? Apa kau di dalam?” seru Mizuki mencari keberadaan Yuka.

Terdengar Mikkii menggonggong dari arah kamar mandi. Segera mungkin Mizuki menuju ke kamar mandi.

“Yuka-chan, apa kau ada di…,” sebelum Mizuki menyelesaikan kalimatnya, Mizuki mendapati istrinya terkapar pingsan di depan kamar mandi dan darah keluar dari bagian bawah Yuka.

“YUKA-CHAN!! YUKA-CHAN, BANGUNLAH!!” dengan panik, Mizuki membopong Yuka yang pingsan ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.

Dia mengambil ponselnya dan segera menghubungi rumah sakit supaya ambulance datang untuk membawa Yuka ke rumah sakit.

Setelah ambulance datang dan membawa istrinya ke rumah sakit, Mizuki mengabari teman-temannya dan segera menyusul ke rumah sakit dengan mobilnya.

“Yuka-chan, aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Kumohon, bertahanlah demi anak kita!” kata Mizuki lirih.

Sesampainya di rumah sakit, Yuka segera dilarikan ke UGD dan segera mendapat perawatan dokter.

Sekitar 1 jam Mizuki menunggu dokter yang menangani istrinya keluar dari tempat Yuka dirawat. Sedikit air mata terlihat menetes dari mata Mizuki.

“Mi!” terdengar Tsurugi memanggil namanya dan dengan diikuti Mao, Aki, dan Kei menghampirinya.

“Ada apa dengan Yuka-san? Apa dia baik-baik saja sekarang?” tanya Kei.

“Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saat aku sampai di rumah, aku mendengar Mikkii menggonggong dengan keras dan aku mendapati Yuka pingsan di depan kamar mandi dengan mengeluarkan darah di sela-sela kakinya,” kata Mizuki.

Aki menepuk bahu Mizuki dengan harapan memberi sedikit ketenangan di hati temannya itu.

Tak lama kemudian, dokter yang menangani Yuka keluar.

“Maaf, apakah ada di antara anda yang merupakan keluarga dari Yuka-san?” tanya dokter tersebut.

“Saya, sensei,” jawab Mizuki sambil berdiri dari duduknya. “Ada apa dengan istri saya dokter?”

“Lebih baik kita berbicara di kantor saya. Istri anda akan segera dipindahkan ke kamar ICU untuk melihat perkembangannya,” kata dokter itu.

Dengan masih khawatir dengan keadaan Yuka sekarang, Mizuki mengikuti dokter itu ke ruangannya.

“Silakan duduk,” kata dokter itu.

“Lalu, apa yang sbenarnya terjadi dengan istri saya, sensei? Apa terjadi sesuatu dengan kehamilannya?” tanya Mizuki dengan tidak tenang.

“Begini, janin yang ada di kandungan istri anda baik-baik saja. Namun, ternyata setelah pengecekan, ada kista yang sudah cukup besar di dalam diri istri anda,” kata dokter itu menjelaskan.

“Ki… Kista? Tapi… Bagaimana bisa?” tanya Mizuki dengan tidak percaya kata-kata dokter itu.

“Kemungkinan istri anda memiliki kelebihan hormon sehingga terjadi kista. Dan kemungkinan karena istri anda tidak tahan dengan sakit yang dia rasakan akibat kista tersebut, karena itulah istri anda pingsan,” lanjut dokter itu.

“Lalu, apakah ada jalan untuk mengobatinya, sensei?” tanya Mizuki.

“Jalan satu-satunya adalah operasi. Tapi operasi ini ada resikonya,” kata dokter itu. “Jika operasi ini dilakukan, salah satu dari istri atau anak anda tidak akan selamat.”

Hati Mizuki benar-benar syok mendengar penjelasan dari dokter tersbut. Dia sudah tidak bisa mengatakan apapun saat dokter mengatakan hal terakhir itu.

“Sensei, apa tidak bisa mereka berdua diselamatkan?” tanya Mizuki.

“Kemungkinan itu sangat kecil. Karena tubuh istri dan anak anda sangat lemah,” jawab dokter itu.

“Baiklah kalau begitu. Saya akan mengambil keputusan secepatnya. Saya permisi,” Mizuki segera meninggalkan ruang dokter tersebut dan kembali ke kamar di mana Yuka sekarang dirawat.

+++

Mizuki membuka pintu ruangan di mana Yuka dirawat. Dia melihat teman-temannya berada di sekeliling Yuka. Mizuki segera menghapus air matanya.

“Micchan,” panggil Yuka lirih.

Mizuki menghampiri Yuka. Dan satu per satu temannya pergi meninggalkan mereka berdua.

“Yuka-chan, kau sudah merasa enakan? Masih terasa sakitkah?” tanya Mizuki.

“Tidak. Aku sudah membaik. Maafkan aku, Mi. aku tidak bisa menjaga diriku baik-baik dan membuatmu sedih sekarang,” kata Yuka memegang tangan Mizuki.

“Jangan salahkan dirimu sendiri. Aku yang salah. Aku yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Gomen ne!” tanpa sadar, air mata mengalir di pipi Mizuki.

Yuka dengan lembut menghapus air mata yang menetes di pipi Mizuki dengan tangannya.

“Mi, beberapa hari lagi aku akan dioperasi. Dan aku sudah mengambil sebuah keputusan,” kata Yuka.

“Apa itu?” tanyaMizuki.

“Aku ingin kau mengatakan pada dokter agar menyelamatkan anak kita saja. Aku merelakan diriku untuk anak kita,” kata Yuka.

“Tapi, sayang,… Aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku ingin selalu bersamamu!” protes Mizuki.

“Mi, tolonglah! Kabulkan permintaanku! Dan berjanjilah padaku, jika nanti anak kita selamat dan aku meninggal, kau akan menjaga anak kita dengan baik sebaik kau menjagaku. Dan tolong jangan kau benci dia. Karena dia tidak bersalah sama sekali,” kata Yuka.

“Tapi, sayang…,” Yuka membungkam mulut Mizuki dengan jarinya.

“Kumohon, Mi. ini permintaan terakhirku,” kata Yuka.

Yuka tersenyum mengatakan hal itu. Dan dengan sedikit kekuatan, dia menggenggam tangan Mizuki dengan erat. Mizuki mencium tangan Yuka dan kening Yuka.

“Kalau begitu, istirahatlah, sayang! Aku akan menjagamu di sini,” kata Mizuki dan Yuka menganggukkan kepalanya.

Yuka memejamkan matanya dan tertidur dengan tangannya masih menggenggam erat tangan suaminya.

+++

Beberapa hari kemudian, hari operasi Yuka pun datang. Mizuki menemani istrinya sebelum para perawat membawanya ke ruang operasi.

“Yuka-chan, berjanjilah padaku berjuanglah dalamoperasi ini. Aku tidak ingin kehilangan dirimu,” kata Mizuki.

“Dan jangan kau lupakan janji kita. Jika aku pergi, rawatlah dia dengan baik,” kata Yuka. Mizuki hanya menganggukkan kepalanya.

“Maaf, Yuka-san harus segera dibawa ke ruang operasi,” kata salah satu perawat.

Dengan berat Mizuki melepas genggaman tangan istrinya. Dia mengikuti istrinya ke ruang operasi dari belakang. Dan sesampainya di ruang operasi, Mizuki berhenti dan hanya bisa menunggu istrinya dari luar.

Dengan hati yang tidak tengang, Mizuki berdoa di dalam hatinya supaya operasi Yuka berjalan dengan lancer dan istrinya bisa selamat begitu pula anak mereka.

Selama 2 jam operasi itu berlangsung, namun belum ada tanda-tanda operasi itu selesai. Namun beberapa menit kemudian, lampu di depan ruang operasi mati. Pertanda operasi telah selesai dilakukan.

Mizuki segera beranjak dari duduknya dan menunggu dkter yang menangani operasi itu muncul.

Saat dokter itu muncul, dokter itu segera memberi isyarat agar Mizuki mengikutinya ke ruang dokter itu.

“Sensei, bagaimana dengan istri dan anak saya? Apakah mereka selamat?” tanya Mizuki.

“Pertama, saya ucapkan selamat kepada anda. Anak anda lahir dengan selamat walaupun lahir dengan prematur. Dan anak anda perempuan. Sekalilagi selamat,” kata dokter itu.

“Lalu bagaimana dengan istri saya?” Mizuki tidak sabar mendengar keadaan istrinya.

“Soal istri anda, kami minta maaf. Kami tidak bisa menyelamatkan istri anda. Beliau meninggal saat kami mencoba untuk mengeluarkan anak anda. Kami harap anda bisa tabah menerima semua ini,” kata dokter itu.

Mizuki tertegun dan tubuhnya serasa membeku mendengar kata-kata dari dokter tersebut. Dia benar-benar tidak percaya bahwa istrinya sudah pergi meninggalkannya.

Mizuki meninggalkan ruang dokter tersebut dan menuju ke tempat Yuka. Dia tidak bisa menahan air matanya ketika melihat Yuka terbujur tanpa jiwa di depannya. Mizuki menggenggam tangan istrinya yang hampir dingin dan menciumnya untuk yang terakhir kalinya.

“Yuka-chan, kenapa kau begitu cepat meninggalkan aku? Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu sekarang. Tapi aku akan mencoba merawat anak kita dengan baik. Dan aku akan memberikan nama Miju untuk anak kita. Seperti persetujuan kita dulu,” kata Mizuki sebelum akhirnya perawat membawa jasad Yuka ke kamar jenazah.

Dengan masih menangis, Mizuki pergi ke ruang di mana Miju berada. Dia melihat dari jendela kaca sambil meneteskan air matanya tanpa henti.

“Miju-chan, kau benar-benar cantik seperti ibumu. Aku akan menjagamu baik-baik dan tak akan membiarkanmu pergi begitu saja seperti ibumu,” kata Mizuki di balik jendela kaca yang memisahkan mereka.

+++

OWARI

Senin, 06 Juni 2011

You Make Me Crazy

Title: You Make Me Crazy
Author : Yukamijo
Pairing: AkixKei (Sadie)
Chapter: 1/1 (oneshot)
Genre: Romance, fluff (maybe)
Rating: PG
Warning: -

Kei membuka matanya dan memandangi sesosok lelaki yang tertidur di sebelahnya. Kei memeluknya dengan penuh kelembutan dan menyandarkan kepalanya di dada lelaki itu.

Tanpa sadar, lelaki itu membuka matanya dan kembali memeluk Kei. Karena terkejut, Kei memalingkan pandangannya ke wajah lelaki itu.

“Aki, kau sudah bangun?” kata Kei sambil tersenyum dan Aki membalas senyumanya.

“Aku terbangun karena kau,” Aki mengubah posisinya menjadi setengah duduk dan segera memeluk kekasihnya lagi.

“Gomen, aku tidak bermaksud membangunkanmu, sayang,” Kei meminta maaf.

“Aku terbangun karena aku ingin melihat wajah kekasihku,” kata Aki sambil membelai pipi kekasihnya. Kei pun tersenyum.

“Oh ya, hari ini kita tidak ada jadwal rehearsal. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat?” kata Kei.

“Ke suatu tempat? Kau mau ke mana?” tanya Aki.

“Hmm… Entahlah. Yang pasti hanya kita saja yang pergi. Bagaimana?” Kei terlihat sangat bersemangat.

“Maksudmu kau ingin kita pergi kencan? Hmm… Kalau begitu aku tahu tempat yang cocok untuk kita berkencan,” kata Aki sambil tersenyum penuh arti.

“Oh ya? Kita mau pergi ke mana?” Kei lebih bersemangat dari sebelumnya.

“Himitsu. Sekarang segera mandi dan bersiap-siap. Kau akan tahu nanti setelah kita sampai,” kata Aki.

Dengan segera Kei bergegas membereskan semuanyadan segera mandi. Dia terlihat sibuk untuk menyiapkan kencan mereka yang sangat mendadak.

Setelah mereka selesai bersiap-siap, mereka segera menuju mobil. Aki yang mengambil alih kemudinya.

Di dalam perjalanan, Kei tak henti-hentinya bertanya kepada Aki kemana mereka akan pergi. Namun Aki tetaplah Aki. Dengan wajah yang cool, dia hanya menjawab himitsu. Dan karena merasa kesal dengan jawaban kekasihnya, dia memilih diam tanpa memperhatikan kekasihnya.

Akhirnya setelah beberapa menit, mereka sampai di tempat yang dimaksud tadi. Kei terlihat sangat terkejut dan merasa senang setelah tahu tempat yang telah dirahasiakan oleh Aki sepanjang perjalanan tadi.

“Jadi kita akan berkencan di sini? Di sebuah taman hiburan?” tanya Kei dengan wajah yang berbinar-binar.

Aki hanya membalas dengan anggukan kepala. Kemudian mereka turun dari mobil dan memasuki area taman bermain itu.

Setelah memasuki taman bermain, Kei mengajak Aki untuk menaiki carousel namun Aki menolaknya.

“Ayolah sayang! Kenapa kau menolak? Kalau kau tidak mau bermain, kenapa kau mengajakku ke sini?” Kei mulai memanyunkan bibirnya.

“Kita ke sini bukan untuk naik carousel. Aku mau mengajakmu ke suatu tempat,” kata Aki sambil menggandeng tangan Kei.

Kei terlihat agak kesal dengan ulah Aki hari ini. Dia selalu merahasiakan segala sesuatunya dari Kei. Namun Kei tetap saja menuruti kata-kata kekasihnya itu.

“Nah, kita sudah sampai,” kata Aki setelah mereka berada di depan rumah hantu.

Kei membelalakkan matanya melihat sebuah rumah hantu yang jaraknya sudah tinggal beberapa langkah lagi.

Kei dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan tangannya dari Aki. Namun Aki menggenggam tangan Kei terlalu kuat sehingga dia tidak bisa melepaskan diri dari Aki.

“Aki, apa yang sedang kau pikirkan? Kau tahu aku tidak suka dengan tempat ini. Tapi kenapa kau tetap membawaku ke sini?” Kei berteriak kepada Aki sambil tetap mencoba untuk melepaskan diri dari Aki.

“Kei, dengarkan aku dulu. Kita datang ke sini berdua. Aku hanya ingin melihat kau berani. Itu saja. Tak ada maksud untuk membuatmu takut. Ayolah sayang, aku kan berada di sampingmu. Aku tak akan meninggalkanmu,” Aki berusaha membujuk Kei namun sepertinya Kei tetap berkeras hati untuk memasuki rumah hantu itu.

“TIDAK! SEKALI AKU BILANG TIDAK, ITU ARTINYA TIDAK! Sekarang lepaskan tanganku! Aku mau pulang!” setelah berusaha keras, akhirnya Kei terlepas dari Aki dan sia segera berbalik dan meninggalkan Aki.

Aki mengejar Kei yang terlihat benar-benar marah. Aki menggapai tangan Kei, namun Kei menolak.

“Lepaskan tanganku atau aku akan memukulmu?” Kei mengepalkan jari-jarinya dan bersiap untuk memukul wajah Aki.

Sebelum Kei memukulnya, Aki dengan segera meraih tubuh Kei dan memeluk kekasihnya itu. Kei tiba-tiba merenggangkan kepalan tangannya dan hatinya pun luluh.

“Kei, jangan marah. Baiklah aku minta maaf. Aku juga tidak memaksamu untuk masuk ke rumah hantu itu. Sekarang lebih baik kita mencari sarapan,” ucap Aki menenangkan kekasihnya.

Kei hanya diam tak berkata apapun. Dia menuruti kemana pun Aki membawanya. Dia benar-benar masih kesal dengan tingkah laku Aki.

Mereka berdua pergi ke sebuah kafe di dekat taman hiburan tersebut dan segera memesan makanan. Tetap saja Kei memasang tampang kesal dan tetap tidak mau mengucapkan sepatah katapun kepada Aki sampai makanan yang mereka pesan datang.

“Anoo… Aki-chan?” seorang perempuan menghampiri meja mereka dan menepuk bahu Aki.

Kei memperhatikan wanita tersebut berbincang-bincang dengan Aki. Tatapan Kei menjadi lebih mengerikan dari sebelumnya. Dia benar-benar merasa ingin membalikkan meja di depannya dan menampar wanita yang sedang berbicara dengan kekasihnya itu.

“Siapa dia?” Kei bertanya dengan ketus setelah wanita itu pergi.

“Maksudmu wanita itu tadi? Dia mantan kekasihku,” jawab Aki enteng.

“Aku pergi!” Kei tiba-tiba meninggalkan Aki dan pergi begitu saja.

Aki berusaha menghentikan Kei namun kekasihnya itu terlanjur menaiki taksi dan pulang tanpa Aki. Aki segera menyelesaikan makannya dan segera pulang menyusul Kei.

+++

Kei duduk terdiam dan membenamkan kepalanya di antara lututnya yang dia tekuk. Air matanya menetes tanpa henti. Tiba-tiba pintu apartemennya dibuka oleh seseorang. Dan Aki muncul dari balik pintu.

Aki menghampiri kekasihnya dan memeluknya. Namun dengan segera Kei menampik pelukan Aki. Kei bangkit dari duduknya.

“Pergi dariku! Aku tidak mau melihatmu lagi!” teriak Kei sambil meninggalkan Aki di ruang tamu dan menuju kamarnya.

“Sebenarnya ada apa denganmu hari ini? Kenapa kau tiba-tiba marah padaku hanya karena aku mengajakmu ke rumah hantu?” Aki berbalik berteriak dari ruang tamu.

“Kau jahat, Aki! Aku hanya berharap hari ini kita bisa melewati hari ini ini berdua dengan menyenangkan. Tapi kau membuat semua ini berantakan!” Kei berteriak dari kamarnya.

Aki menghampiri Kei dan mencoba untuk memeluk kekasihnya itu. Walaupun Kei mencoba berkali-kali melawan Aki, namun akhirnya dia mengalah dan luluh kepada Aki.

“Kei, aku minta maaf. Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi. Aku tidak akan mengajakmu pergi ke rumah hantu lagi,” kata Aki lembut.

“Jangan pernah kau merahasiakan sesuatu padaku lagi! Aku benci itu. Dan satu lagi, kenapa wanita itu kau biarkan memanggilmu dengan sebutan Aki-chan? Bukannya kau benci dengan sebutan itu dan kau tidak mengijinkanku memanggilmu dengan sebutan itu?”

“Eh? Jadi kau marah dan meninggalkan aku hanya karena itu? Hahaha,” Aki tertawa. “Kei, Aku tidak suka kau panggil aku seperti itu karena aku muak dengan panggilan itu. Kau tahu kan dia mantan kekasihku? Karena itulah aku tidak suka seseorang memanggilku Aki-chan. Karena dialah aku membenci panggilan itu. Karena aku tidak mau mengingat masa laluku waktu bersamanya,” jelas Aki sambil memeluk Kei.

“Hontou? Baiklah. Kali ini aku percaya padamu. Aki, maafkan aku. Aku kekanak-kanakan hari ini,” Kei memeluk Aki. “Tunggu! Tapi kau harus menerima hukuman karena telah membuat kencan kita berantakan.”

“Hukuman? Aku hanrus menerima hukuman?” Aki terkejut.

“Iya. Kau harus dihukum sekarang!” kata Kei.

“Apa hukumannya? Aku tidak bisa menolaknya. Akan aku lakukan seperti katamu, sayang,” kata Aki.

“Bagus. Hukumannya adalah… Having sex with me. Right now,” Kei tersenyum menggoda.

“Sekarang? Ini masih siang, sayang! Bagaimana kalau nanti malam?” tawar Aki.

“No! kau sudah bilang kalau kau akan melakukan apapun permintaanku kan? Sekarang lakukan!” kata Kei.

“Baiklah, sayang. As you wish,” Aki mulai mencium kekasihnya dan mulai melaksanakan hukuman yang dia terima.

+++
OWARI

Kamis, 14 April 2011

Stalker

Title: Stalker
Author: Yuka
Pairing: ReitaxRuki
Chapter: Oneshot
Rating: PG
Genre: Romance
Warning:

“Aku pulang dulu ya!,” kata Reita berpamitan dengan teman satu bandnya. Dan disahut oleh lambaian tangan dari teman-temannya.

Karena hari ini Reita tidak membawa kendaraan, dia memutuskan untuk naik kereta listrik. Dia berjalan menuju stasiun dengan bersenandung. Namun sesuatu membuat dia tidak tenang saat dia berjalan di jalanan yang sepi. Seperti ada orang yang mengikutinya.

Reita menoleh ke belakang, namun dia tidak menemukan seseorang yang mencurigakan. Dia kembali berjalan dan bersenandung. Tapi dia kembali merasakan ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Namun sama seperti tadi, dia tidak melihat seseorang berada di belakangnya. Dia mulai waspada.

“Sial! Sebenarnya siapa yang mengikutiku malam-malam seperti ini? Apakah seorang fans fanatikku?” kata Reita samar-samar.

Karena Reita merasa kurang nyaman, dia segera berlari menuju stasiun kereta api. Dan tak lama kemudian akhirnya dia sampai di stasiun dan segera membeli tiket. Dia merasa sudah aman karena dia sudah di dalam lingkungan yang banyak orang.

Saat pintu kereta listrik yang akan dia naiki terbuka, Reita segera masuk dan segera duduk. Reita merasa lega karena dia terbebas dari sang penguntitnya.

Saat dia menunggu kereta untuk berangkat, tiba-tiba dia tersentak. Reita merasakan sepasang mata sedang memperhatikannya dengan tatapan tajam.

“Sial! Ada apa sebenarnya ini? Kenapa mala mini aku merasa hidupku tidak tenang,” kata Reita dalam hati.

Reita membenarkan cara duduknya dan segera memasang mata waspada kepada setiap orang yang merasa mencurigakan sampai kereta itu berhenti dan Reita turun dari kereta itu.

“Untung apartemenku dekat dengan stasiun. Setidaknya aku tidak perlu berjalan jauh,” kata Reita.

Sesampainya di apartemen, Reita menghampiri resepsionis untuk mengambil kuncinya karena dia selalu menitipkan kunci apartemennya pada sang resepsionis.

“Selamat malam, Reita-san!” sapa sang resepsionis.

“Selamat malam, Keiko! Aku mau mengambil kunci apartemenku,” kata Reita.

“Tunggu sebentar. Oh ya, baru saja ada seseorang menitipkan ini pada saya. Dia mengatakan untuk menyerahkan pada anda,” sang resepsionis memberikan satu buket mawar merah kepada Reita.

“Eh? Untukku? Dari fans?” tanya Reita kebingungan sambil menerima mawar merah itu dari sang resepsionis.

“Entahlah. Saat saya menanyakan siapa pengirimnya, dia hanya mengatakan ini dari kekasih anda,” jawab resepsionis itu.

“Hah? Kekasih? Aku belum punya pacar. Hahaha,” Reita tertawa kecil. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Keiko!”

Reita berjalan menuju apartemennya sambil berpikir tentang malamnya yang sedikit misterius.

Reita membuka sepatunya, meletakkan mantel dan tasnya di atas sofanya lalu Reita merebahkan diri di sofa panjang sambil mengamati buket mawar itu.

“Hmm… Bagus sekali. Cantik. Tapi siapa pengirimnya?” Reita memutar-mutar buket bunga mawar itu dan dia menemukan secarik kertas di dalamnya.

Pelan-pelan Reita membuka kertas itu. Ada sebuah tulisan di kertas itu.

“I love you? Hanya ini tulisannya? Tak ada nama pengirimnya?” Reita membolak balik kertas itu namun dia tidak menemukan sebuah nama.

+++

“TING TONG!”

Suara bel apartemennya membangunkan Reita pagi itu. Dengan malas, Reita bangun dan membuka pintu apartemennya. Namun saat dia membukanya, dia tidak mendapati seseorang berdiri di balik pintu.

“Sial! Pagi-pagi membangunkanku dan berbuat iseng!” Reita emosi.

Saat dia hendak menutup pintu apartemennya, dia melihat setangkai mawar merah tergeletak di balik pintunya. Reita memungutnya dan mengambil kertas yang juga tergeletak di lantai bersama dengan mawar merah tersebut.

“You are my inspiration,” begitulah isi tulisan yang ada di atas kertas itu. Dan sekali lagi, tanpa nama pengirim.

Karena Reita berpikir bunga ini dikirim tidak lama, maka dia bergegas lari ke depan apartemennya untuk mengejar pegirimnya. Namun ternyata dia tidak menemukan siapapun.

Reita memutuskan untuk kembali ke apartemennya dan meletakkan mawar merah itu ke dalam vas bunga bercampur dengan bunga mawar yang tadi malam dia dapatkan dari entah siapa.

Ponsel Reita berbunyi. Reita meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjangnya dan membuka ponselnya. Sebuah pesan dari Ruki.

“Rei-chan, apa kau sedang sibuk? Aku ingin membicarakan hal penting denganmu. Aku tunggu di taman sekarang,” itulah isi pesan dari Ruki.

Setelah membaca pesan itu, Reita segera bersiap-siap dan segera menuju ke taman yang dikatakan Ruki.

Beberapa menit kemudian dia sudah sampai di taman yang dikatakan Ruki. Dia mengirim pesan kepada Ruki untuk menanyakan di mana dia sekarang. Lalu Ruki membalas tak lama kemudian.

Reita segera menuju ke tempat Ruki berada. Setelah dia menemukan Ruki, dia melambaikan tangannya kepada Ruki dan disambut lambaian tangan dari Ruki. Reitapun menghampiri Ruki.

“Ohayou!” sapa Reita sambil duduk di depan Ruki.

“Ohayou!” sapa Ruki.

“Ada apa kau menyuruhku datang kemari?” tanya Reita.

“Ano… Rei, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tapi kumohon jangan marah padaku,” kata Ruki.

“Apa itu? Aku janji aku tak akan marah padamu,” sahut Reita.

“Hontou?” Ruki meyakinkan Reita.

“Hontou. Sekarang katakana padaku,” Reita menunggu Ruki berbicara.

“Baiklah kalau begitu,” kata Ruki. “Ini!” Ruki menyerahkan mawar merah kepada Reita.

“Eh? Mawar merah? Untukku?” tanya Reita heran. “Jangan-jangan kau adalah…”

“Kumohon jangan marah padaku! Kau sudah berjanji untuk tidak marah kan?” Ruki ketakutan mendengar kata-kata Reita.

“Jadi, jelaskan padaku! Kenapa kau melakukan ini padaku? Aku hampir terkena sakit jantung gara-gara ulahmu, Ruki!” Reita berkata dengan nada agak tinggi.

“I… Iya aku akan jelaskan kepadamu. Iya, akulah orangnya. Aku yang memberikan mawar merah kemarin dan tadi pagi. Aku juga yang mengikutimu kemarin. Gomen!” Ruki menundukkan kepalanya.

“Apa alasannya?” tanya Reita.

“Itu… Itu karena… Karena aku… aku menyukai Rei-chan!” ucap Ruki sambil ketakutan.

“Menyukaiku? Hahaha,” Reita terbahak-bahak.

Tiba-tiba Reita berdiri dan mendekati Ruki. Sebuah ciuman lembut mendarat di kening Ruki. Reita mengangkat dagu Ruki. Terlihat wajah Ruki yang ketakutan bercampur kaget.

“I love you too, my inspiration,” Reita mencium bibir Ruki dengan lembut.

“Kau… Kau juga memiliki perasaan yang sama?” tanya Ruki yang merasa tidak percaya dengan semua ini. Reita mengangguk.

Sebuah senyuman manis terpancar dari bibir mungil Ruki. Dan Rukipun memeluk Reita.

“Happy birthday, Rei-chan!” sorak Ruki sambil memeluk kekasih barunya itu.

“Happy…?” tanya Reita pelan.

“Kau tak ingat ini adalah hari ulang tahunmu?” senyuman masih menghiasi wajah Ruki.

“Jadi, kau hanya mempermainkanku saja untuk memberiku kejutan?” nada tinggi sudah mulai terdengar dari mulut Reita.

“Bukan. Ini bukan kejutan untuk mempermainkanmu. Aku sungguh-sungguh mengatakan ini semua,” Ruki mengusap pipi Reita untuk menenangkannya.

“Kau tidak bohong kan?” tanya Reita.

Ruki menggelengkan kepalanya dengan tersenyum. Reita membalas senyumannya dan memeluk Ruki.

+++

“Rei,” panggil Ruki.

“Ya?” sahut Reita.

“Apa yang kau inginkan untuk hadiah ulang tahunmu hari ini?” Ruki menyandarkan kepalanya di bahu Reita dan Reita memeluk kekasihnya itu.

“Hmm… aku sudah punya sesuatu yang berharga di hari ulang tahunku ini. Jadi aku tidak perlu hadiah atau apapun,” kata Reita.

“Apa itu?” Ruki memandang wajah Reita.

“Kau,” jawab Reita singkat dan langsung mencium Ruki dengan penuh kelembutan. “Tapi ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu.”

“Apa itu?” tanya Ruki.

“Kenapa kau kemarin mengikutiku?” lanjut Reita.

“Itu karena Uruha,” jawab Ruki.

“Uruha? Ada apa dengan Uruha?” tanya Reita.

“Uruha tahu aku menyukaimu. Dan beberapa hari yang lalu dia mengatakan padaku kalau kau akan menemui seseorang yang kau sukai. Karena itulah aku mengikutimu,” jawab Ruki.

“Hahaha,” Reita tertawa mendengar jawaban Ruki. “Jadi itu alasan kau mengikutiku sampai ke apartemenku?” tanya Reita dan dibalas anggukan pelan dari Ruki.

“Aku jadi terlihat bodoh di depanmu,” kata Ruki.

Reita mencium pipi Ruki dan memeluknya untuk menenangkannya.

“Tak usah dipikirkan, Ru-chan. Aku tidak akan berhenti mencintaimu walaupun kau berubah menjadi bodoh,” Reita memberikan senyum pada Ruki dan Rukipun memukul pelan dada Reita.

Wajah Ruki mendekat kepada Reita. Bibir mereka saling bertemu dan mereka berciuman dengan penuh nafsu. Lidah Reita mencoba menembus mulut Ruki dan disambut oleh lidah Ruki.

“Sekarang kau tak perlu mengikutiku lagi. Karena kau sudah tahu siapa orang yang aku sukai,” kata Reita dan kemudian mereka melanjutkan cumin mereka yang tertunda.

+++
OWARI

Rabu, 29 Desember 2010

Mou Hitotsu no Hanayome

Title: Mou Hitotsu no Hanayome
Pairing: UruhaxKai; uruhaxofc
Chapter: 1/1 (oneshot)
Genre: Angst, romance, drama
Rating: PG
Warning: dead character

“KRIIIIIIING!!!”

Aku mulai membuka mataku. Ah… ternyata alarm jamku berbunyi. Kuambil jam dari meja dekat tempat tidurku. Mataku terbelalak melihat sekarang sudah jam sembilan pagi.

“Gawat! Aku terlambat! Kuso!” kataku sambil terburu-buru menuju ke kamar mandi.

Setelah selesai mandi, aku segera mengenakan baju serba putih. Setelah memakai dasi, aku mengenakan tuxedo putih dan sedikit berdandan.

“Yosh! Aku sudah siap! Semoga aku tidak terlambat ke acara pemberkatan pernikahan,” kataku sambil meraih kunci mobilku.

Aku benar-benar tidak tenang. Karena ini adalah pertama kalinya. Pertama kalinya di dalam hidupku aku dihancurkan oleh orang yang benar-benar aku sayangi.

Beberapa menit kemudian, aku sampai di depan sebuah gereja. Gereja di mana seharusnya aku merasa bahagia.

“Kai!” terdengar suara Aoi memanggilku. Aku melambaikan tangan dan menghampirinya.

“Aoi, Ruki, Reita, kalian sudah datang. Maaf aku terlambat. Kau tahu sendiri kan aku orangnya pelupa. Hahaha…,” aku menyebut ini senyum kamuflase.

“Kai, bisa kita berbicara berdua saja?” ajak Ruki.

“H… Hai,” jawabku.

Ruki melangkahkan kaki menjauh dari mereka dan mencari tempat sesepi mungkin. Dan akhirnya kami berhenti di belakang gereja. Tak ada orang sama sekali.

“Nah, di sini sudah tidak ada orang lagi. Jadi kau bisa menangis sekarang,” kata Ruki.

“Apa maksudmu, Ruki? Aku… Aku tidak ingin menangis. Kau tahu, hari ini kan hari bahagia untuk kita semua,” kataku.

“Kau tak usah berbohong! Aku tahu apa yang kau rasakan saat ini,” tiba-tiba Ruki memelukku dan aku tiba-tiba merasa pipiku basah. Sangat basah.

Aku memeluk Ruki erat-erat sambil menangis di pelukannya. Benar-benar menangis seperti seorang anak kecil yang baru saja dipukul oleh temannya.

“Ruki… Kenapa ini semua terjadi padaku? Kenapa harus begini? Aku mencintainya tapi kenapa harus berakhir seperti ini?” aku terus menangis di pelukan Ruki.

“Menangislah terus sampai kau tenang. Kai, aku tahu kau sangat mencintainya. Tapi mungkin Tuhan berkata lain. Mungkin Uruha bukan jodohmu. Dan pasti ada seseorang yang lebih baik dari Uruha yang dipersiapkan Tuhan sebagai jodohmu,” kata Ruki yang sedikit membuatku tenang.

Aku melepaskan pelukan dari Ruki dan mengusap air mataku. Dan aku melihat wajah Ruki yang begitu perhatian kepadaku. Hanya dia yang bisa membuatku tenang di saat seperti ini. Dan hanya dia yang mengetahui bahwa aku mencintai Uruha.

“Baiklah, sekarang mari kita masuk. Acaranya segera dimulai,” Ruki menggandeng tanganku dan kami berjalan menuju ke dalam gereja dan duduk di sebelah Reita dan Aoi.

“Kau tak apa-apa, Kai? Kenapa matamu merah?” tanya Reita.

“Ah… Tadi mataku kemasukan debu. Karena gatal aku mengusap mataku. Tapi aku tidak tahu kalau mataku menjadi merah,” jawabku dan langsung duduk.

Dan tepat saat aku duduk, aku melihat sosok Uruha yang sedang berdiri di depan altar menunggu pengantin wanita memasuki ruangan.

Aku harus kuat! Kataku di dalam hati. Ini demi kebaikan Uruha. Demi kebahagiaan Uruha! Aku tidak boleh menangis di depannya.

Aku memalingkan wajahku dari Uruha saat dia menatapku. Aku tidak bisa menatap matanya. Itu akan membuat hatiku sakit.

Pemberkatan segera dimulai. Aku melihat Uruha dan Erika sudah berada di depan altar. Aku hanya bisa menahan air mataku mengalir. Tangan Ruki menggenggam tanganku. Hal itu lah yang membuatku lebih kuat saat ini. Tapi… aku masih tidak bisa merelakan Uruha menikah dengan perempuan yang telah hamil 1 bulan itu.

“Ozaki Erika, apakah kau bersedia menerima Takashima Kouyou sebagai suamimu dalam susah dan senang?” pendeta itu memulai pemberkatannya.

“Ya. Saya bersedia,” jawab Erika.

“Takashima Kouyou, apakah kau bersedia menerima Ozaki Erika sebagai istrimu dalam susah dan senang?”

Dengan reflek, aku melepaskan tangan Ruki dari genggamanku dan mengambil pistol yang telah aku persiapkan dari rumah. Aku langsung berdiri dari tempat duduk dan mengacungkan moncong pistol itu ke arah Uruha. Aku menarik pemicunya dan… sebuah dentuman keras dari pistol menggema di gereja itu.

+++

“URUHA! URUHA!!” teriakku sambil terbangun dari tidurku.

Keringatdinginku bercucuran dari kepala hingga kaki. Semua tubuhku bergetar. Ya Tuhan… Ternyata aku baru saja mimpi buruk. Tapi mimpi buruk itu terlihat nyata. Mimpi buruk itu seakan-akan berada di depan mataku.

Ponselku bordering. Aku meraihnya dari atas laci dekat tempat tidurku. Dan ternyata Uruha yang meneleponku.

“Hai, moshi-moshi, Uruchan!” jawabku.

“Kai-chan, bisakah kita bertemu? Aku ingin mengatakan sesuatu denganmu,” tanya Uruha.

“Hmm… Baiklah. Di mana kita akan bertemu?” kataku.

“Di kafe dekat apartemenmu saja. Aku sedang menuju ke sana sekarang,” kata Uruha.

“Kenapa kau tidak langsung ke apartemenku? Kita kan bisa ngobrol di sini,” tanyaku.

“Aku tidak bisa lama-lama, sayang!” jawab Uruha.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan ke sana sebentar lagi,” kataku dan menutup teleponku.

Beberapa menit kemudian, aku sudah siap untuk menemui Uruha di kafe yang telah kita bicarakan. Aku masih memikirkan tentang mimpiku barusan. Dan aku berencana untuk membahasnya dengan Uruha nanti.

Aku menunggu Uruha di kafe tersebut. Dan tak lama kemudian, aku melihat Uruha datang. Aku melambaikan tangan kepada Uruha dan dia segera menuju ke arahku.

“Gomen nee, aku terlambat,” kata Uruha.

“Aku juga baru saja sampai. Oh ya, aku juga ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu,” kataku.

“Oh ya? Kalau begitu katakan saja, Kai-chan!” kata Uruha.

“Tidak. Kau saja dahulu. Sepertinya kau ingin berbicara sesuatu yang penting,” kataku.

“Hmm… baiklah kalau begitu. Ini tentang hubungan kita berdua,” ujar Uruha.

“Kenapa dengan kita?” tanyaku sambil tersenyum dan memegang tangannya.

“Kai-chan, aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikan padamu. Aku tahu ini hanya akan membuatmu membenciku seumur hidupmu. Tapi aku harus mengatakan hal ini. Aku harap kau bisa menerimanya,” ucap Uruha.

“Apa itu? Uruchan, tolong jangan membuatku penasaran,” tanyaku.

“Etooo… Aku rasa kita sudahi saja hubungan kita ini,” jawab Uruha sambil menundukkan kepala.

“Apa? Aku salah dengar kan, Uruchan? Kenapa? Kenapa kau bicara seperti itu?” tanyaku yang benar-benar merasa terkejut dengan perkataan Uruha tadi.

“Ini semua salahku! Aku… Aku… Aku menghamili perempuan lain. Dan… Dan sekarang dia sedang mengandung anakku, Kai-chan,” ujar Uruha dengan sangat ketakutan.

Tiba-tiba aku teringat akan mimpiku tadi. Menikah? Perempuan lain? Jadi inikah arti dari mimpiku tadi? Semua pertanyaan tiba-tiba berkerumun di otakku.

“Siapa? Siapa perempuan itu, Takashima Kouyou?” tanyaku dengan geram dan aku memegang sebuah gelas dengan sangat erat.

“Dia… Dia temanku saat aku SMA. Namanya Erika. Maafkan aku Kai-chan! Saat itu aku sedang mabuk dan aku tidak sadar saat melakukannya, hontou gomen!” Uruha berdiri dan berlutut di kakiku. Aku hanya bisa menahan emosi supaya air mataku tidak keluar di depan Uruha.

Aku menarik baju Uruha dengan sekuat tenaga. Tanganku sudah mengepal dengan sangat kuat. Aku merapatkannya ke dinding kafe itu.

“Kau berani mengkhianatiku, hah??” teriakku di depannya. Dan sebuah pukulan hebat kulayangkan ke wajahnya. Uruha merasa kesakitan.

Aku lepaskan Uruha. Dengan air mata yang menetes dari mataku, aku meninggalkannya meringkuk di sana. Aku segera kembali ke apartemenku dan segera menceritakan kepada Ruki tentang perbuatan Uruha.

Aku duduk di pinggir tempat tidur. Dengan putus asa aku mengambil sekaleng bir dari lemari es dan meminumnya. Tiba-tiba tanganku membuka laci di sebelah tempat tidurku. Lalu aku mengeluarkan sebuah pistol. Aku mengecek isinya dan setelah itu, aku mengarahkan pistol ke kepalaku.

“Kai? Apa kau di dalam?” tiba-tiba aku mendengar suara Ruki.

Dengan segera aku menarik pemicunya.

“DOOOR!!!”

Tubuhku mulai melemas dan aku segera terkulai. Aku masih mendengar sebuah langkah kaki yang berlari mendekat ke arahku.

“KAI!!!!! YA TUHAN, APA YANG KAU LAKUKAN?!” Ruki segera menepuk-nepuk pipiku. Aku membuka mataku dengan sayup.

“Ruki… Sakit! Kepalaku sakit,” aku menangis. Darah mengalir deras dan setiap aku bersuara, kekuatanku menghilang dengan cepat. Aku mulai lemas.

“KAI, BERTAHANLAH! AKU AKAN MEMANGGIL AMBULANS UNTUKMU! JANGAN PERGI DULU!” teriak Ruki sambil menangis.

“Gomen… nee… Ruki,” kataku dan setelah itu aku merasa kekuatanku hilang tak tersisa. Selamat tinggal Uruha. Kau pergi meninggalkan aku. Dan aku pergi meninggalkan dunia ini. Sangat adilkah semua yang aku lakukan ini? Tubuhku terasa ringan. Aku merasa terbang dan dapat melihat Ruki menangis dengan keras sambil memeluk tubuhku yang penuh darah.

+++
OWARI